Ranah Minang



Datang dalam keadaan marah. Mencari rumah, tempat singgah, apapun itu untuk mengistirahatkan jiwa yang resah.

Ranah Minang sudah tidak hujan dua minggu, ucap semuanya. Mungkin pembawa berkah, katanya.

Perhatian tidak di Tuan, tidak di manapun yang berupa insan, melainkan pada apa yang diperbincangkan. Tanah diperebutkan. Parcok main pentungan. Represi kepada perempuan.

Tidak, harus. Tentu saja harus melewati setengah ruangan. Gaya tubuh begitu yakin, seolah-olah dari awal itu sudah ada di pikiran. Padahal, tidak genap empat menit lalu kalimat yang terlontar dilewatkan.

Selanjutnya yang disediakan malah tanya. Entah apa maksudnya.

Dorongan terakhir? Seperti dipaksa. Ha, ada aku. Ayo sapa. Mesti dilakukan. Menggugurkan kewajiban? Yang pasti darahnya berlombaan. Sialan.

Mendekam di surau. Butuh tindakan inkonvensional agar lantas merantau. Berhasil. Datang sendirian, lagi-lagi sok jantan. Watak mereka yang menetap di Ranah Minang.

Pembicaraan selalu dialihkan, bak bertolak belakang. Ini semua tidak masuk akal. Lara. Lara. Lara. Tidak seharusnya.

Kembali lagi dia akhirnya. Tidak belajar dari apapun yang terjadi sebelumnya. Kemudian, apa? Renungkan saja, ingat bahwa tidak ada punya.

Komentar

Postingan Populer